Tak sulit mencari peuyeum Bendul. Anda cukup melintas di jalan raya
Bandung-Jakarta. Untuk memperoleh peuyeum Bendul tidaklah sulit. Hampir
di setiap tempat peristirahatan kendaraan umum dan pribadi, mata
wisatawan bakal tertumbuk pada makanan berbahan baku singkong atau ubi
kayu itu yang digantung secara mencolok di setiap gerai.
Yang pasti, kalau mau lebih afdol, silakan mampir di gerai-gerai
peuyeum di Desa Bendul, Purwakarta. Kalau mau membeli di tempat lain
pun tak masalah, karena memiliki cita rasa yang sama. Sebagai contoh di
tempat peristirahatan (rest area) jalan tol Jakarta-Cikopo atau di ruas
jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang).
Begitu pula di jalur-jalur utama keramaian sepanjang Pantura
Karawang-Subang, Cikopo-Sadang, Kalijati-Subang, Padalarang-Cianjur.
“Yang punya kios pasti orang-orang asal Desa Bendul,” kata Aja Saptja,
pedagang peuyeum Bendul di Desa Bendul.
Karena pemiliknya warga Bendul, peuyeumnya pasti buatan produsen
peuyeum Desa Bendul. Alhasil, soal keaslian, peuyeum Bendul masih
terpelihara. “Perajin peuyeum dari luar masih belum bisa menirunya,”
kata Aja.
Karena posisi peuyeum Bandul digantung saat dijajakan di gerai-gerai,
para wisatawan kerap menyebutnya sebagai tape gantung. Menurut Hidayat,
warga Jakarta yang dipergoki di kedai peuyeum Bendul milik Aja Saptja,
selain bentuknya unik, rasanya sangat berbeda dengan jenis tape
singkong lainnya.
“Kenyal dan lebih manis,” kata Hidayat, yang membeli peuyeum Bendul
sebagai oleh-oleh mudiknya. Buah tangan itu sengaja ia beli untuk
keluarga dan para tetangga. Ia bertutur, tetangga yang pertama kali
dihadiahi peuyeum Bendul selalu berujar pendek, “Aneh!” Namun, setelah
merasakan sekali, kali lainnya mereka ketagihan dan memesan lagi.
Menurut Siti Sofiah, pedagang peuyeum Bendul, pihaknya memberikan
jaminan kualitas aroma, rasa, dan masa bertahan peuyeum Bendul. Harga
jual peuyeumnya lebih murah di Bendul. Sementara di kios-kios luar
Bendul peuyeum dibanderol Rp 5.000 hingga Rp 6.000 per kilogram, di
Bendul dijual dengan harga Rp 4.000 per kilogram.
Peuyeum Bendul memang sulit dilupakan. Alasannya, ia sudah melegenda
sejak diproduksi dan diperkenalkan secara massal pada 1930-an. Berkat
peuyeum Bendul, banyak warga Purwakarta jadi kaya raya dan bisa
menyekolahkan anaknya sampai ke luar negeri.
Namun, sayang, mereka sempat terjerembap tatkala jalan tol Cipularang
mulai dioperasikan empat tahun lalu. Pasalnya, sebagian besar
pengendara atau wisatawan dari Jakarta yang hendak ke Bandung dan
sebaliknya lebih memilih jalan bebas hambatan itu.
“Semua bisnis peuyeum Bendul ambles seambles-amblesnya,” kata Sofiah.
Ratusan warung pamer peuyeum Bendul, yang biasanya ramai dikeroyok para
wisatawan asal Jakarta yang pulang pelesir dari Bandung melalui jalur
reguler Bendul, seakan kabur tak berbekas.
“Kami semua bangkrut,” Aja menambahkan. Peuyeum Bendul, yang biasanya
laku sampai 5 kuintal sampai 1 ton pada hari-hari libur, setelah
beroperasinya jalan tol Cipularang paling banter laku 20 kilogram.
“Warung kami sempat tutup satu tahun,” Sofiah menimpali.
Makanya, para pedagang peuyeum Bendul yang tak tahan dengan “krisis
ekonomi pedagang peuyeum” itu banyak yang memilih kabur dari Bendul dan
mencari lokasi usaha baru.
Syukurlah, belakangan mereka mampu bangkit kembali mendagangkan peuyeum
Bendul yang menjadi andalan usahanya itu. “Alhamdulillah, usaha peuyeum
Bandul kami bisa bangkit lagi,” kata Eman, pedagang peuyeum di Jalan
Pantura Kaliasin, Jatisari Karawang. Masa mudik dan balik Lebaran
adalah ladang paling subur untuk menangguk untung.
Sekarang, kedai-kedai peuyeum khas Purwakarta yang masih bertahan
berjualan di Bandul tinggal 50-an kios dari sebelumnya lebih dari 100
kios. Dan setelah adanya pelarangan bagi seluruh kendaraan truk besar
masuk tol Cipularang akibat amblesnya jalan bebas hambatan itu di
kilometer 91,600 tiga tahun lalu, mereka kembali lewat jalur reguler
Bendul. Denyut perdagangan peuyeum Bendul pun mulai bergairah lagi.
Para wisatawan asal Jakarta yang rindu belanja dan merasakan peuyeum
Bendul di lokasi pembuatan aslinya pun sudah banyak yang kembali
menyambangi kedai-kedai di Bendul. Omzet penjualan peuyeum pun kembali
bergairah. Aja mengaku, sekarang sudah bisa menjual lima kuintal pada
saat hari libur. “Lumayanlah,” kata Aja seraya tersenyum.
Agar buah tangan khas Purwakarta tersebut tetap bertahan di tempat
produksinya, Aja dan Sofiah mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten
Purwakarta supaya mengajak para “pendekar” peuyeum Bendul yang sudah
bermigrasi ke tempat lain agar “balik kandang”. “Supaya kondisi Bendul
ramai lagi,” kata Aja.
Mereka juga mendesak pemerintah setempat meminta PT Jasa Marga
mempercepat pembangunan satu interchange (persimpangan) lagi di jalan
tol Cipularang, di lokasi Sukatani. Kalau persimpangan itu terwujud,
mereka yakin kejayaan peuyeum Bendul akan bangkit kembali. NANANG
SUTISNA.
Supaya Enak, Diampelas Pakai Daun Ilalang
Meski bahan dasar peuyeum Bendul sama dengan berbagai jenis tape produk
daerah lain, singkong atau ubi kayu, peuyeum Bendul yang pertama kali
diciptakan oleh Murdi, warga Kampung Bendul, pada 1940-an itu memiliki
perbedaan sangat mencolok, terutama dalam bentuknya.
Sementara tape singkong buatan daerah lain bentuknya dikerat-kerat,
peuyeum Bendul yang terbuat dari singkong satuan ini bentuknya
panjang-panjang.
Cara pembuatannya, setelah dikupas, satuan-satuan ubi singkong dilucuti
kulitnya. Kemudian satu per satu diampelas pakai daun ilalang. Setelah
halus, dicuci hingga bersih.
Proses berikutnya, singkong yang sudah dihaluskan itu direbus hingga
matang. “Supaya permukaannya tidak pecah,” kata Aja Saptja, seorang
penjual peuyeum Bendul.
Singkong rebus yang telah didinginkan kemudian ditaburi ragi dan
dimasukkan ke keranjang yang terbuat dari anyaman bambu yang bagian
dasarnya dilapisi daun pisang. “Tiga hari sudah pasti jadi peuyeum,”
kata Aja.
Peuyeum kemudian dipajang di ruang-ruang pamer milik para pedagang yang
terbuat dari kaca yang berjejer di “pasar” peuyeum Bendul di jalan raya
Bendul, dalam posisi digantung dengan tali yang terbuat dari bambu.
NANANG SUTISNA
Jangan Lupa Colenak, Dicocol Enak…
Buah tangan di pusat kedai peuyeum Bendul bukan cuma peuyeum. Ada juga
colenak. Colenak merupakan akronim dari “dicocol enak”, dan salah satu
diversifikasi usaha dari peuyeum Bendul.
Bahan dasarnya dari peuyeum Bendul. Peuyeum yang telah dikerat-kerat
lalu digoreng atau dibakar. Setelah matang, langsung didinginkan,
kemudian ditaburi gula aren yang sudah digodok dan dicampur dengan
kelapa parut.
Rasanya dijamin ruarrrr biasa. Uenak, Cing! Sekali mencoba, diyakini
pasti ingin mengulanginya lagi. Apalagi Anda yang suka penganan dengan
rasa manis. Manis gula aren membawa cita rasa manis yang khas, dan
parutan kelapa bikin kunyahan colenak jadi makin renyah.
Colenak diciptakan oleh Ojom pada 1970-an, seorang penjual peuyeum
Bendul yang mendiversifikasi usaha supaya para pelanggan peuyeumnya
tidak bosan. Kini, harga jualnya pun tak bikin kantong bolong. Satu
kemasan dalam bentuk kotak plastik, colenak hanya dijual seharga Rp
5.000 hingga Rp 6.000 saja.
Neneng, generasi ketiga Ojom, bahkan sudah melakukan diversifikasi
colenak. Ia tak hanya membuat colenak dari bahan dasar peuyeum Bendul,
tapi juga dari pisang nangka. Untuk memperkenalkannya, “Kami menjajakan
dari pintu ke pintu,” kata Neneng. Lambat-laun colenak Bendul ikut
nyohor, senyohor peuyeum Bendul. NANANG SUTISNA
SUMBER :